Undang Undang
CHANNELPUBLIK.COM | Untuk perundang-undangan di Indonesia, lihat Undang-Undang (Indonesia). Legislasi atau undang-undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur pemerintahan yang lainnya.
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan LPND sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. RUU ini kemudian diajukan dengan surat Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima.
RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden kemudian menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR mengenai hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama.
RUU tersebut disahkan oleh presiden dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden. Jika dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Contoh
Sumber:
Sebelum disahkan, undang-undang disebut sebagai rancangan Undang-Undang. Undang-undang berfungsi untuk digunakan sebagai otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk menghukum, untuk memberikan, untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi sesuatu.
Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh anggota badan legislatif (misalnya anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden), dan selanjutnya dibahas di antara anggota legislatif. Undang-undang sering kali diamandemen (diubah) sebelum akhirnya disahkan atau mungkin juga ditolak.
Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara. Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.
Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga fungsi utama pemerintahan yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang memiliki kekuasaan formal untuk membuat legislasi disebut sebagai legislator (pembuat undang-undang), sedangkan badan yudikatif pemerintah memiliki kekuasaan formal untuk menafsirkan legislasi, dan badan eksekutif pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-batas kekuasaan yang telah ditetapkan oleh hukum perundang-undangan.
Kata Undang-Undang (UU) dalam tulisan ini adalah undang-undang dalam arti formal dan material (weet in formele zin en materiele zin) sekaligus. Sehingga mencakup semua jenis peraturan perundang-undangan dari undang-undang kebawah. Mengenai undang-undang dalam arti formal dan material,, P.J.P Tak dalam bukunya Rechtsvorming in Nederland, sebagaimana dikutip oleh H. Machmud Aziz dalam jurnal MK edisi Oktober 2010 Vol.5, mengatakan bahwa pengertian undang-undang dibagi dalam dua pengertian yaitu "undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin) dan undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin).
Menurut P.J.P Tak, undang-undang dalam arti formal adalah "...van een wet in formele zin spreken we als de regering en de stten-generaal gezamenlijk een besluit nemen volgenseen in de grondwet (apabila pemerintah bersama dengan parlemen mengambil keputusan, maksudnya untuk membuat undang-undang).
Selanjutnya P.J.P Tak mengatakan "...weten in formele zin kumen slechts worden vastgestelde door deregering en de stten-generaal gezamenlijk. We neomen deze weten daarom ook wel parlementaire wetten en de formele wetgever ook wel perlementere wetgever..(undang-undang dalam arti formal hanya dapat dibentuk oleh pemerintah dan parlemen. Oleh karena itu undang-undang ini disebut juga undang-undang parlementar dan pembentuk undang-undang dalam arti formal ini juga disebut undang-undang parlementer)".
P.J.P Tak juga mengatakan "...De Grondwet kent niet allen aan de formele wetgever wetgevende bevoegdheden toe, mar rook andree overheidsorgamen zoals de regerin, de propiciale staten en de gementereed.
Zowel de formele wetgeger als deze andree overheidsorganen hebben de bevoegdeid tot het maken van wetten inmateriele zin (kewenangan membentuk peraturan perundang-undanganoleh Undang-Undang Dasar tidak hanya diberikan kepada pembentuk undang-undang dalam arti formal saja, tetapi kewenangan ini juga diberikan kepada organ / lembaga penguasa yang lain seperti ekskutif / pemerintah, pemerintah propinsi dan kota. Baik pembentuk undang-undang dalam arti formal maupun organ / lembaga penguasa yang lain tersebut mempunyai kewenangan untuk membuat "undang-undang dalam arti material").
Mengenai pengertian undang-undang dalam arti material, P.J.P Tak mengatakan bahwa "...van een wet in materele zin spreken we al seen besluit van een organ met wetgevende beveogdheid algemenen, burgers bindende regels bevat...(undang-undang dalam arti material adalah jika suatu lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan mengeluarkan suatu keputusan yang isinya mengikat umum).
Dalam kontek Indonesiaan, teori undang-undang dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material dibahas oleh A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya. Dalam hal ini Attamimi tidak menggunakan kata "Undang-Undang" sebagai terjemahan / padanan kata "wet" karena dalam konteks teori ini pengertian "wet" menurut Attamimi tidak dapat diterjemahkan dengan "Undang-Undang".
Attamimi berpendapat bahwa dalam pengertian "wet dalam arti formal" dan "wet dalam arti meteriil", kata "wet" disini tidak tepat apabila kata-kata "wet in formele zin" diterjemahkan dengan "undang-undang dalam arti formal" atau "undang-undang dalam arti materiil". Sebab kata "undang-undang" dalam bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan kaitannya dari konteks pengertian ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Apabila dilepaskan dari konteks tersebut, maka akan timbul kerancuan mengenai pemahamannya. Dalam konteks pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia menurut Attamimi "Undang-Undang" adalah produk hukum yang dibentuk oleh presiden dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara, yang dilakukan dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen).
Menurutnya "wet in formele zin" memang dapat dpersamakan dengan undang-undang, karena secara formal wet merupakan hasil bentukan pembentukan wet yang dinegara Belanda, terdiri atas pemerintahan (regering) dan Staten-generaal (parlemen) secara bersama-sama, sedangkan undang-undang dinegara Indonesia dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kita kepada Almarhum Attamimi sebagai bapak perundang-undangan Indonesia yang meletakkan dasar-dasar ilmu perundang-undangan di Indonesia, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pendapat ini sekarang sudah kurang tepat lagi. Karena berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) jo pasal 20 perubahan pertama dan perubahan kedua UUD 1945, pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang sekarang berada ditangan DPR dan dibahas bersama dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan.
Menurut Attamimi "wet in meteriele zin" di negara Belanda mempunyai arti khusus. Ia memang berisi peraturan, tetapi tidak selalu merupakan hasil bentukan Regering dan Staten Generaal bersama-sama, melainkan dapat juga merupakan produk pembentuk peraturan (regelgever) yang lebih rendah,, seperti raja, menteri, provinsi, kota, dan lainnya. Oleh karena itu untuk menghilangkan kerancuan pengertian, dalam hal ini menyarankan agar kata-kata "wet in formele zin" diterjemahkan dengan "undang-undang" saja, sedangkan "wet in materiele zin" dengan "Peraturan Perundang-Undangan".
Dalam hukum positif sekarang di Indonesia, menurut UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan, dalam pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Definisi ini hanya mencakup pemahaman "wet in formele zin" saja.
Pandangan Umum
Hukum termasuk dalam serangkaian peraturan dan standar dalam suatu masyarakat tertentu. Hukum merupakan hal yang generik untuk semua kegiatan, di mana pun mereka berada dalam hierarki standar (konstitusi, hukum atau pengertian formal peraturan ketat ...)
Dari segi bentuknya, hukum adalah perbuatan hukum oleh otoritas tertentu, biasanya DPR yang sah dan memiliki kapasitas untuk memimpin. Di negara-negara yang mengenal suatu bentuk pemisahan kekuasaan, hukum adalah sebuah standar hukum yang diadopsi oleh badan legislatif dalam bentuk dan prosedur yang ditentukan oleh hukum konstitusional setempat. Penerapannya kemudian dapat ditentukan oleh teks yang dikeluarkan oleh eksekutif, sebagai pelaksanaan Keputusan, dan juga akan dijelaskan lebih lanjut oleh penafsiran di pengadilan.
Aturan hukum adalah alat yang tersedia bagi para pengacara yang memungkinkan untuk bekerja sesuai dengan cita-cita keadilan. Setiap kebebasan atau hak pasti menyatakan, harus dilaksanakan sepenuhnya, kewajiban toleransi dan hormat, atau tanggung jawab.
Materi Undang-undang
Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh anggota badan legislatif (misalnya anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden), dan selanjutnya dibahas di antara anggota legislatif. Undang-undang sering kali diamandemen (diubah) sebelum akhirnya disahkan atau mungkin juga ditolak.
Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara. Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.
Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga fungsi utama pemerintahan yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang memiliki kekuasaan formal untuk membuat legislasi disebut sebagai legislator (pembuat undang-undang), sedangkan badan yudikatif pemerintah memiliki kekuasaan formal untuk menafsirkan legislasi, dan badan eksekutif pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-batas kekuasaan yang telah ditetapkan oleh hukum perundang-undangan.
Kata Undang-Undang (UU) dalam tulisan ini adalah undang-undang dalam arti formal dan material (weet in formele zin en materiele zin) sekaligus. Sehingga mencakup semua jenis peraturan perundang-undangan dari undang-undang kebawah. Mengenai undang-undang dalam arti formal dan material,, P.J.P Tak dalam bukunya Rechtsvorming in Nederland, sebagaimana dikutip oleh H. Machmud Aziz dalam jurnal MK edisi Oktober 2010 Vol.5, mengatakan bahwa pengertian undang-undang dibagi dalam dua pengertian yaitu "undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin) dan undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin).
Menurut P.J.P Tak, undang-undang dalam arti formal adalah "...van een wet in formele zin spreken we als de regering en de stten-generaal gezamenlijk een besluit nemen volgenseen in de grondwet (apabila pemerintah bersama dengan parlemen mengambil keputusan, maksudnya untuk membuat undang-undang).
Selanjutnya P.J.P Tak mengatakan "...weten in formele zin kumen slechts worden vastgestelde door deregering en de stten-generaal gezamenlijk. We neomen deze weten daarom ook wel parlementaire wetten en de formele wetgever ook wel perlementere wetgever..(undang-undang dalam arti formal hanya dapat dibentuk oleh pemerintah dan parlemen. Oleh karena itu undang-undang ini disebut juga undang-undang parlementar dan pembentuk undang-undang dalam arti formal ini juga disebut undang-undang parlementer)".
P.J.P Tak juga mengatakan "...De Grondwet kent niet allen aan de formele wetgever wetgevende bevoegdheden toe, mar rook andree overheidsorgamen zoals de regerin, de propiciale staten en de gementereed.
Zowel de formele wetgeger als deze andree overheidsorganen hebben de bevoegdeid tot het maken van wetten inmateriele zin (kewenangan membentuk peraturan perundang-undanganoleh Undang-Undang Dasar tidak hanya diberikan kepada pembentuk undang-undang dalam arti formal saja, tetapi kewenangan ini juga diberikan kepada organ / lembaga penguasa yang lain seperti ekskutif / pemerintah, pemerintah propinsi dan kota. Baik pembentuk undang-undang dalam arti formal maupun organ / lembaga penguasa yang lain tersebut mempunyai kewenangan untuk membuat "undang-undang dalam arti material").
Mengenai pengertian undang-undang dalam arti material, P.J.P Tak mengatakan bahwa "...van een wet in materele zin spreken we al seen besluit van een organ met wetgevende beveogdheid algemenen, burgers bindende regels bevat...(undang-undang dalam arti material adalah jika suatu lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan mengeluarkan suatu keputusan yang isinya mengikat umum).
Dalam kontek Indonesiaan, teori undang-undang dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material dibahas oleh A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya. Dalam hal ini Attamimi tidak menggunakan kata "Undang-Undang" sebagai terjemahan / padanan kata "wet" karena dalam konteks teori ini pengertian "wet" menurut Attamimi tidak dapat diterjemahkan dengan "Undang-Undang".
Attamimi berpendapat bahwa dalam pengertian "wet dalam arti formal" dan "wet dalam arti meteriil", kata "wet" disini tidak tepat apabila kata-kata "wet in formele zin" diterjemahkan dengan "undang-undang dalam arti formal" atau "undang-undang dalam arti materiil". Sebab kata "undang-undang" dalam bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan kaitannya dari konteks pengertian ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Apabila dilepaskan dari konteks tersebut, maka akan timbul kerancuan mengenai pemahamannya. Dalam konteks pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia menurut Attamimi "Undang-Undang" adalah produk hukum yang dibentuk oleh presiden dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara, yang dilakukan dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen).
Menurutnya "wet in formele zin" memang dapat dpersamakan dengan undang-undang, karena secara formal wet merupakan hasil bentukan pembentukan wet yang dinegara Belanda, terdiri atas pemerintahan (regering) dan Staten-generaal (parlemen) secara bersama-sama, sedangkan undang-undang dinegara Indonesia dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kita kepada Almarhum Attamimi sebagai bapak perundang-undangan Indonesia yang meletakkan dasar-dasar ilmu perundang-undangan di Indonesia, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pendapat ini sekarang sudah kurang tepat lagi. Karena berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) jo pasal 20 perubahan pertama dan perubahan kedua UUD 1945, pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang sekarang berada ditangan DPR dan dibahas bersama dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan.
Menurut Attamimi "wet in meteriele zin" di negara Belanda mempunyai arti khusus. Ia memang berisi peraturan, tetapi tidak selalu merupakan hasil bentukan Regering dan Staten Generaal bersama-sama, melainkan dapat juga merupakan produk pembentuk peraturan (regelgever) yang lebih rendah,, seperti raja, menteri, provinsi, kota, dan lainnya. Oleh karena itu untuk menghilangkan kerancuan pengertian, dalam hal ini menyarankan agar kata-kata "wet in formele zin" diterjemahkan dengan "undang-undang" saja, sedangkan "wet in materiele zin" dengan "Peraturan Perundang-Undangan".
Dalam hukum positif sekarang di Indonesia, menurut UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan, dalam pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Definisi ini hanya mencakup pemahaman "wet in formele zin" saja.
Pandangan Umum
Hukum termasuk dalam serangkaian peraturan dan standar dalam suatu masyarakat tertentu. Hukum merupakan hal yang generik untuk semua kegiatan, di mana pun mereka berada dalam hierarki standar (konstitusi, hukum atau pengertian formal peraturan ketat ...)
Dari segi bentuknya, hukum adalah perbuatan hukum oleh otoritas tertentu, biasanya DPR yang sah dan memiliki kapasitas untuk memimpin. Di negara-negara yang mengenal suatu bentuk pemisahan kekuasaan, hukum adalah sebuah standar hukum yang diadopsi oleh badan legislatif dalam bentuk dan prosedur yang ditentukan oleh hukum konstitusional setempat. Penerapannya kemudian dapat ditentukan oleh teks yang dikeluarkan oleh eksekutif, sebagai pelaksanaan Keputusan, dan juga akan dijelaskan lebih lanjut oleh penafsiran di pengadilan.
Aturan hukum adalah alat yang tersedia bagi para pengacara yang memungkinkan untuk bekerja sesuai dengan cita-cita keadilan. Setiap kebebasan atau hak pasti menyatakan, harus dilaksanakan sepenuhnya, kewajiban toleransi dan hormat, atau tanggung jawab.
Materi Undang-undang
- Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
- Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
- Persiapan
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan LPND sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. RUU ini kemudian diajukan dengan surat Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima.
RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden kemudian menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR mengenai hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
- Pembahasan
DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
- Pengesahan
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama.
RUU tersebut disahkan oleh presiden dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden. Jika dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Contoh
- Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik,
- Undang-Undang Pelayanan Publik,
- Undang-Undang Penyiaran,
- Undang-Undang Ketenagakerjaan,
- Undang-Undang Perlindungan Anak dan Perempuan,
- Undang-Undang Pers,
- Undang-Undang Advokat,
- Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
- Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
- Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan lain sebagainya.
Sumber:
- Safi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura), Pengertian Undang-Undang dan Pengertian Perundang-Undangan, dalam Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat, Vol.8 No.2, April 2011, Penerbit Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang.
- Machmud Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal MK, Vol.5, Oktober 2010, Jakarta, h.115
- P.J.P Tak, Rectsvorming in Nederland (een inleiding), Open Universiteit, Samson H.D, Tjeenk Wilink, Earste Drunk, 1984, h.62-63
- A. Hamid SA, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Bersifat Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Disertasi,, Universitas Indonesia, 1990, Jakarta, (tidak dipublikasikan).
Follow & Subscribe
BERITA POPULER
-
Ilustrasi. Contoh Surat Pengaduan Kasus PHK Terhadap Disnaker. (Foto: Istimewa) CHANNELPUBLIK.COM | Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah...
-
Pengertian, Dasar, Ruang Lingkup Dan Sumber Hukum Tenaga Kerja. (Foto: Istimewa) CHANNELPUBLIK.COM | Pengertian Hukum Ketenagakerjaan san...
-
Suasana persidangan dalam perkara dugaan penipuan yang dilakukan oleh terdakwa, Catur Dewi alias Eliza. (Foto: JP - Channelpublik) Menga...
-
Sejarah dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Latar Belakang CHANNELPUBLIK.COM | Dewasa ini banyak masyarakat Indonesia y...
-
Persidangan secara virtual di Pengadilan Negeri Batam Kedatangan seorang pria bernama Ari Gunawan ke Massage Dwi Amor yang berlokasi di Komp...
-
BATAM ( KEPRI ) - Channelpublik.com | Seorang pendeta berinisial NSP di Kecamatan Batu Aji, Kota Batam diduga telah mencabuli seorang an...
-
Suasana pada saat Roy Wright Hutapea mendaftarkan diri menjadi calon ketua Peradi Kota Batam. (Foto: JP – Channelpublik). Roy Wright Hutapea...
-
Perspektif Hukum Terhadap Tunjangan Hari Raya (THR) CHANNELPUBLIK.COM | Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan pendapatan pekerja yang wajib ...
-
Suasana Ketika Proses Perobohan Bangunan Milik PT Asianfast Marine Industries, Sekupang Kota Batam. (Foto: JP - Channelpublik ) BATAM , Chan...
-
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Perhitungan Pesangon CHANNELPUBLIK.COM | Dalam dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubu...
No comments:
Post a Comment