Sejarah dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Sejarah dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Sejarah dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Latar Belakang


CHANNELPUBLIK.COM | Dewasa ini banyak masyarakat Indonesia yang mengabaikan arti pentingnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi di Indonesia. Bahkan bukan hanya mengabaikan, namun banyak juga yang tidak mengetahui hakekat dan makna dari konstitusi tersebut.

Terlebih di era globalisasi ini masyarakat dituntut untuk mampu memilah-milah pengaruh positif dan negatif dari globalisasi tersebut. Dengan pendidikan tentang konstitusi diharapkan masyarakat Indonesia mampu mempelajari, memahami dan melaksanakan segala kegiatan kenegaraan berlandasakan konstitusi, hingga tidak kehilangan jati dirinya, apalagi tercabut dari akar budaya bangsa dan keimanannya.

Konstitusi adalah salah satu norma hukum dibawah dasar negara. Dalam arti yang luas: konstitusi adalah hukum tata negara, yaitu keseluruhan aturan dan ketentuan (hukum) yang menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Dalam arti tengah: konstitusi adalah hukum dasar, yaitu keseluruhan aturan dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam arti sempit: konstitusi adalah Undang-Undang Dasar, yaitu satu atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan yang bersifat pokok. Dengan demikian, konstitusi bersumber dari dasar Negara. Isi norma tersebut bertujuan mencapai cita-cita yang terkandung dalam dasar Negara.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 memiliki makna, bahwa Negeri Republik indonesia yang terdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara yang berdasar atas hukum ( Rechtstaat ) dalam arti negara pengurus. Hal ini tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab I Bentuk dan kedaulatan Pasal I ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut : ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”

Hal itulah yang menjadi alasan mengenai pentingnya pembahasan perundang-undangan, mengenai perubahan perundang-undangan. Dimana perubahan UUD Republik Indonesia 1945 yang dilakukan oleh MPR merupakan upaya penyempurnaan aturan dasar guna lebih memantapkan usaha pencapaian cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana yang telah diungkapkan pada bagian awal.

Adapun dasar pemikiran yang melatarbelakangi perubahan UUD Republik Indonesia tahun 1945, antara lain;
  1. UUD Republik Indonesia tahun 1945 membentuk struktur ketata negaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi ditangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat.
  2. UUD Republik Indonesia tahun 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar pada pemegang kekuasan Eksekutif (Presiden).
  3. UUD Republik Indoensia tahun 1945 mengandung pasal-pasal yang telalu ”luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multi tafsir).
  4. UUD Republik Indonesia tahun 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan pada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan UU.
  5. Rumusan UUD RI tahun 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan otonomi daerah.

Dari dasar pemikiran tersebut, maka dilakukan perubahan yang secara bertahap dan sistematis dalam empat kali perubahan amandemen UUD 1945, yang harus difahami bahwa perubahan tersebut merupakan suatu rangkaian dan suatu sistem kesatuan.

Hal itulah yang menjadi alasan mengenai pentingnya pembahasan perundang-undangan, mengenai perubahan perundang-undangan. Dimana perubahan UUD Republik Indonesia 1945 yang dilakukan oleh MPR merupakan upaya penyempurnaan aturan dasar guna lebih memantapkan usaha pencapaian cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana yang telah diungkapkan pada bagian awal.

Dasar Yuridis Perubahan UUD 1945

Mengenai dasar yuridis perubahan UUD 1945dilihat dari MPR melakukan perubahan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan berpedoman pada ketentuan pasal 37 UUD 1945 yang mengatur prosedur perubahan UUD 1945.

Sebelum melakukan perubahan UUD tahun 1945, MPR dalam sidang istimewa MPR tahun 1998 mencabut ketetapan MPR Nomor 04/MPR/1983 tentang Referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan Referendum secara nasional dengan persyaratan yang demikian sulit sebelum dilakukan perubahan UUD 1945 oleh MPR.
Adapun mengenai proses pembahasan perubahan UUD 1945 kesepakatan dasar itu terdiri atas lima butir, yaitu:
  1. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945;
  2. Tetap mempertahankan negara kesatuan Republik Indoesia;
  3. Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial;
  4. Penjelasan UUD 1945, yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh);
  5. Melakukan perubahan dengan cara adendum.

Peristilahan Perundang-undangan

Istilah perundang-undangan (Legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda.

Dalam kamus umum yang berlaku, istilah legislation dapat diartikan perundang-undangan dan pembuatan undang-undang, istilah wetgeving diterjemahkan dengan pengertian membentuk undang-undang dan keseluruhan dari pada UU negara, sedangkan istilah gesetzgebung diterjemahkan dengan pengertian perundang-undangan .

Menurut Bagir Manan, pengertian peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
  1. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum;
  2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi,status atau suatu tatanan;
  3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu;
  4. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan lazim isebut dengan algemeen verbindende voorschrift yang meliputi antara lain; de supra nationale algemen verbindende voorschriften, wet, AmvB, de Ministeriele verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen,de provinciale staten verordeningen.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang tersebut diatas, pembahasan mengenai Perundang-undangan mencakup mengenai proses pembentukan peraturan negara, sekaligus pembahasan mengenai peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan negara, baik di Pusat maupun di Daerah. Istilah perturan, jelas menunjuk aturan hukum namun istilah perundang-undangan jelas tidak menunjuk istilah Undang-undang.
Dinamika Perundang-undangan”
  1. Periode berlaku UUD 1945;
  2. Periode berlaku KRIS 1949, konstitusi RIS;
  3. Periode berlaku UUDS 1950;
  4. Periode berlaku UUD 1945, 1959 sampai dengan sekarang.

Pembagian Sejarah Perundang-undangan

Sejarah Perundang-undangan ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
  1. Pada tanggal 17 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949;
  2. Pada tanggal 27 Desember 1949 s/d 15 Agustus 1950;
  3. 3. Pada tanggal 15 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959;
  4. 4. Pada tanggal 5 Juli 1959 s/d 5 Juli 1966;
  5. 5. Pada tanggal 5 Juli 1966 s/d sekarang.

Maka, dijelaskan melalui table mengenai pembagian tahapan sejarah perundang-undangan, yaitu sebabagai berikut  (No Tahap Perkembangan Jangka Waktu Bentuk Peraturan Perundang-undangan):
  1. Di bawah UUD 1945 (18 Agustus 1945) sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949) 5 tahun Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1) UUD). Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Pasal 22 UUD);
  2. Di bawah Konstitusi RIS (27 Desember 1949) sampai dengan ditetapkannya UUD Sementara RI (15 Agustus 1950) 8 bulan Undang-Undang (Pasal 127 Konstitusi RIS). Peraturan Pemerintah (Pasal 141 Konstitusi RIS)Undang-Undang Darurat (Pasal 139 Konstitusi RIS);
  3. Di bawah UUD Sementara RI (15 Agustus 1950) sampai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 9 tahun Undang-Undang (Pasal 89 UUDS)Peraturan Pemerintah (Pasal 98 UUDS) Undang-Undang Darurat (Pasal 196 UUDS)

Ketiga perkembangan di atas, merupakan perkembangan yang “wajar” dan “jelas”, karena adanya perbedaan tiga UUD yang menjadi pokok pangkalnya. Sedangkan perkembangan selanjutnya yaitu sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai tanggal 5 Juli 1966 merupakan perkembangan yang ditandai oleh kondisi “darurat” dan karenanya menjadi “tidak wajar,” sebagai akibat adanya Dekrit Presiden dan munculnya suatu bentuk penyelewengan.

Penyelewengan dalam hal legislasi ini adalah dengan munculnya dua jenis peraturan perundang-undangan yang baru yang menandai wewenang presiden yang terlalu berlebihan dalam konteks Demokrasi Terpimpin pada masa pemerintahan Soekarno. Kedua peraturan ini dikenal dengan nama Penetapan Presiden (Surat Presiden RI tanggal 20 Agustus 1959 No. 2262/HK/59) dan Peraturan Presiden (tanggal 22 september 1959 No. 2775/HK/59). Kedua peraturan baru ini sama sekali tidak disebut dalam UUD 1945, namun kedudukan dan perannya bahkan melebihi ketiga bentuk perundang-undangan yang telah diatur sebelumnya dalam UUD 1945.

Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai awal 1966, terdapat sekitar 76 buah Penetapan Presiden dan 174 buah Peraturan Presiden yang terdapat dalam lembaran negara. Secara yuridis formal, perkembangan ini berakhir pada tanggal 5 Juli 1966 yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPRS No XIX/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai Dengan UUD 1945.

Dalam hubungan dengan pengaturan peraturan perundang-undangan, ketiga UUD yang pernah berlaku di negara kita mengaturnya dalam jumlah pasal yang tidak sama, antara lain:
  1. UUD 1945 hanya memuat empat pasal (Pasal 5, 20, 21 dan 22);
  2. Konstitusi RIS memuat 17 pasal (Bagian II; dari Pasal 127 sampai dengan Pasal 143);
  3. UUDS RI memuat 12 pasal (Bagian II; dari Pasal 89 sampai dengan Pasal 100).

Berkaitan dengan proses penyusunan suatu rancangan undang-undang, sejarah peraturan perundang-undangan mencatat paling tidak sejak tanggal 29 Agustus 1970, semua menteri dan kepala Lembaga Pemerintahan Non-Departemen (LPND) harus berpedoman kepada Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.

Setelah melewati kurun waktu 20 tahun dan dipandang perlu adanya penyempurnaan kembali tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) dan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagaimana diarahkan dalam Inpres No. 15 Tahun 1970, maka diterbitkanlah Keputusan Presiden (Keppres) No 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.


Perbandingan Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945

Pembahasan mengenai perbandingan sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945, sebelum adanya perubahan UUD 1945 persoalan yang dibahas adalah mengenai Ketetapan MPR mempunyai kedudukan setingkat lebih rendah daripada UUD 1945, padahal keduanya dibentuk oleh sebuah lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apabila dari fungsi dari Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR);
  • Fungsi I : Menetapkan Undang-undang Dasar.
  • Fungsi IIa : Menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara.
  • Fungsi II b : Memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Dilihat dari fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat diatas, telah jelas bahwa kedudukan yang paling utama adalah bagian awal, yaitu Menetapkan Undang-undang Dasar. karena pada bagian kedua, dapat dilaksanakan secara teratur dalam jangka waktu lima tahun sekali, yaitu pada waktu Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang.

Sedangkan Setelah perubahan UUD 1945, terdapat perubahan mendasar pada fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu;
  • Fungsi I : Mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
  • Fungsi II : Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
  • Fungsi IIIa : Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
  • menurut UUD.
  • IIIb : Memilih wakil Presiden (dalam hal terjadi kekosongan).
  • IIIc : Memilih Presiden dan Wakil Presiden (dalam hal terjadi kekosongan).


Sejarah Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Sejak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah dilakukan perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada tahun 1996, dengan Ketetapan MPR No. XX/MPR/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia adalah:
  1. Undang-undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan MPR;
  3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti:
  • Peraturan Menteri;
  • Instruksi Menteri, dal lain-lainnya.

Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai daerah di Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta semakin kuatnya ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai mengubah konsep otonomi daerah. Maka lahirlah Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (telah diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004).

Perubahan ini tentu saja berimbas pada tuntutan perubahan terhadap tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena itulah, dibuat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang. Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak dimasukkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, setelah lahirnya Ketetapan MPR No. II Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata urutan tersebut setelah Keputusan Presiden. Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut:
  1. Undang-undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden; dan
  7. Peraturan Daerah

Peraturan Perundangan

Pasal 1 butir 2 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dilihat dari sisi materi muatannya, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regelling) secara umum dan abstrak, tidak konkrit dan individual seperti keputusan penetapan.

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah terdiri atas Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.

Selain jenis Peraturan Perundang-Undangan di atas, Pasal 7 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Dalam praktik selain jenis sebagaimana dimaksud tersebut juga terdapat Peraturan Menteri sebagai produk hukum yang bersifat mengatur. Oleh karena itu, dalam laman ini juga dimuat Peraturan Menteri. Untuk nama produk hukum, terutama jenis Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri, masih terdapat ketidakseragaman, beberapa produk hukum yang dikeluarkan oleh Presiden dan Menteri masih dinamakan Keputusan (Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri). 
Kedua produk hukum tersebut, sepanjang materi muatannya mengatur, dimasukkan dalam kategori Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri.

Selain itu, juga masih ditampilkan produk hukum Ketetapan MPR. Walaupun saat ini sudah tidak dikenal lagi, namun berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, terdapat 2 Ketetapan yaitu:
  1. Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran Komunis/Marxisme, Leninisme, dan 
  2. Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Di samping itu, juga terdapat 11 Ketetapan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 yang masih berlaku sampai terbentuknya undang-undang yang mengaturnya.

Jenis dan Hierarki

Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

  1. UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;
  2. Ketetapan MPR;
  3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
  4. Peraturan Pemerintah (PP);
  5. Peraturan Presiden (Perpres); dan
  6. Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.



Hakekat dan Makna Pengesahan UUD 1945

Keputusan rapat paripurna PPKI sejatinya sangat krusial lantaran Konvensi Montevideo (1933) tandas menyebutkan syarat minimal eligibilitas untuk diakuinya sebuah negara disandarkan pada dua unsur. Pertama, unsur deklaratif, yakni adanya pengakuan dari negara lain, dan kedua, unsur konstitutif, sebagai anasir pokok yang meliputi adanya rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.

Pada 17 Agustus 1945, menurut fakta (ipso facto) kita memang menyatakan merdeka sebagai sebuah negara. Namun terkait pemerintahan yang berdaulat, dan wilayah, secara yuridis (ipso jure) sesungguhnya baru sah ‘dimiliki’ dan ‘diakui’ pada 18 Agustus 1945 melalui rapat paripurna PPKI yang menetapkan Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta selaku wakil presiden, juga menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia.

Transfigurasi konstitusi dalam hal ini (casu quo) dapat dianggap merupakan piagam kelahiran bagi negara baru (a birth certificate of new state), sehingga relasi (betrekking) konstitusi dengan negaranya amat erat berkelindan, begitu inheren, dan menjadi sesuatu yang mutlak adanya (conditio sine qua non). Tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak memiliki konstitusi. Bayangkan sebuah rumah tanpa fondasi. Berdiri, namun tidaklah kokoh. Begitulah personifikasi fungsi konstitusi, ia menopang dan menjamin tegak kokohnya rumah besar yang bernama negara.

Kemuliaan konstitusi itu pulalah yang menjadikannya sebagai basic law dan the higher law. Dalam konstitusi terdapat pula cakupan pandangan hidup (way of life, weltanschauung) dan inspirasi bangsa yang memilikinya. Dari dalil tersebut konstitusi kemudian dijadikan sebagai sumber hukum (source of law, rechtsbron) yang utama, sehingga tidak boleh ada satupun peraturan perundang-undangan (wettelijk regeling) yang bertentangan dengannya (in strijd zijn met de grondwet).

Kelahiran UUD 1945 pada puluhan tahun silam sesungguhnya merupakan klimaks perjuangan bangsa Indonesia sekaligus sebagai karya agung dari para pendiri bangsa (the founding fathers and mothers). Keistimewaan suatu konstitusi terdapat dari sifatnya yang sangat luhur dengan mencakup konsensus-konsensus (toestemming) tentang prinsip-prinsip (principles, beginselen) esensial dalam bernegara. Dengan demikian, maka konstitusi dapat dikatakan sebagai sebuah dokumen nasional (a national document) bersifat mulia yang notabene adalah dokumen hukum dan politik (political and legal document).

Tentang makna Konstitusi, Sri Soemantri menyebutnya sebagai dokumen formal yang berisi:
  1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau;
  2. Tingkat-tingakat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
  3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu
  4. sekarang, maupun untuk masa yang akan datang, dan
  5. Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

Materi substansinya antara lain adalah berupa pembagian dan pembatasan dari pada tugas ketatanegaraan secara prinsipiil, susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, termasuk juga jaminan terhadap hak asasi manusia (human rights, mensenrechten) serta hak warga negara.

Sedangkan menurut C. F. Strong, “constitutions may be said to be collection of principle according to which the powers of the Governments the rights of the governed and the relation between the two are adjusted.” Dalam arti bahwa konstitusi dapat dikatakan sebagai suatu himpunan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah dan hak-hak yang diperintah serta hubungan antar keduanya.

Ekspektasinya dimaksudkan agar Indonesia kelak menjadi negara yang damai, adil, dan makmur sejalan dengan tujuan negara sebagaimana telah termaktub di dalam mukadimah atau pembukaan (preambule) UUD 1945.

Proses Pergantian dan Perubahan

Dalam perjalanan sejarah, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian baik nama, subtansi materi yang dikandungnya maupun masa berlakunya, beserta perubahan-perubahannya yakni dengan rincian sebagai berikut:
  1. Undang-undang dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949);
  2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950);
  3. Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950-5Juli 1959);
  4. Undang-undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999);
  5. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000);
  6. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000-9 Nopember 2001);
  7. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, dan III (9 Nopember 2001 – 10 Agustus 2002);
  8. Undang_undang Dasar 1945 dan perubahan I,II, III dan IV (10 Agustus 2002).

Peranti Bernegara yang Harus Dikawal

Eksplanasi tersebut menerangkan bahwa pembentukan konstitusi sangatlah penuh dengan perjuangan. Perjalanan pencarian jati diri bangsa Indonesia berupa sejarah perubahan-perubahan konstitusi juga cukup melelahkan.

Konstitusi memang merupakan tonggak atau awal terbentuknya suatu negara dan menjadi dasar utama bagi penyelenggara negara. Oleh sebab itu, konstitusi menempati posisi penting dan strategis dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Konstitusi memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan negara menuju tujuannya.

Dengan demikian, Konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Dengan kata lain, negara yang memilih demokrasi sebagai sistem ketatanegaraannya, maka konstitusi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau pemerintahan yang demokratis pula.

Kekuasaan yang demokratis dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi perlu dikawal oleh masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Agar nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan tidak diselewengkan, maka partisipasi warga negara dalam menyuarakan aspirasi perlu ditetapkan di dalam konstitusi untuk berpartisipasi dalam proses-proses kehidupan bernegara.

Konstitusi sebagai aturan pokok bernegara (staatsgrundgesetz) niscaya haruslah mendapat pengawalan agar tidak dijadikan sebagai wahana bagi para pihak yang ingin berkuasa.


Kesimpulan

Undang-Undang pertama kali yang disahkan setelah berlakunya UUD 1945 adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah yang terdiri atas enam pasal (disahkan pada tanggal 23 November 1945).

Perkembangan yang “wajar” dan “jelas” dalam Sejarah Perundang-undangan, karena adanya perbedaan ketiga UUD yang menjadi pokok pangkalnya. Sedangkan perkembangan selanjutnya yaitu sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai tanggal 5 Juli 1966 merupakan perkembangan yang ditandai oleh “kedaruratan” akibat adanya Dekrit Presiden dan munculnya suatu bentuk penyelewengan (munculnya dua jenis peraturan perundang-undangan yang baru dengan nama Penetapan Presiden (Surat Presiden RI tanggal 20 Agustus 1959 No. 2262/HK/59) dan Peraturan Presiden (tanggal 22 september 1959 No. 2775/HK/59)).

Kedua peraturan baru ini sama sekali tidak disebut dalam UUD 1945, bahkan kedudukan dan peranannya melebihi ketiga bentuk perundang-undangan yang telah diatur sebelumnya dalam UUD 1945. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai awal 1966, terdapat sekitar 76 buah Penetapan Presiden dan 174 buah Peraturan Presiden yang terdapat dalam lembaran negara.

Secara yuridis formal, perkembangan terakhir ini berawal pada tanggal 5 Juli 1966 yaitu dengan dikumandangkannya Ketetapan MPRS No XIX/1966 tentang peninjauan kembali produk-produk legislatif negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945.

Berkaitan dengan proses penyusunan suatu rancangan undang-undang, sejarah peraturan perundang-undangan mencatat paling tidak sejak tanggal 29 Agustus 1970, semua Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen harus berpedoman kepada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.

Pada saat itu, pertimbangan ditetapkannya Inpres tersebut adalah untuk menciptakan tertib hukum dan peningkatan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi penyelenggaraan tugas pemerintah.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan jilid 1. Jakarta : Penerbit KANISIUS.
  2. Sekertariat Jendral MPR RI. 2006. Panduan Pemasyarakatan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta.
  3. Sudarwo, Iman. 1988. Cara Pembentukan Undang-undang dan Undang-undang Protokol. Surabaya : Penerbit INDAH.
  4. www.parlemen.net 2007.PSHK(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia).
  5. www.parlemen.net/ind/uud_sejarah.php
  6. Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya. 2002. Penabur Ilmu.
  7. Sri Soemantri, 2014, Hukum Tata Negara Pemikiran dan Pandangan, Remaja Rosdakarya.
  8. Konstitusi Indonesia: Prosedur dan Sistem Perubahan Sebelum dan Sesudah UUD 1945 Perubahan, Bandung, Remaja Rosdakarya.

No comments:

Post a Comment